MAKALAH
Judul
KONSEP KHITBAH DAN KAFA’AH
Mata
Kuliah : Fikih Munakahat
Dosen Pengampu : Hj. Aini Mahmudah, M.S.I
Disusun Oleh
Kelompok
2
1.
Sukarlin
2.
Syaifur
Rohman
3.
Dian
Kurniawan
4.
Risma
Hakim
FALKUTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(UNISNU)
JEPARA
2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah bertema ” Konsep
Khitbah Dan Kafa’ah” sebagai salah satu tugas kelompok mata
kuliah Fikih Munakahat.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami
mendapatkan begitu banyak bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada siapa saja yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah
ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar,
Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah
ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya
yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.
Pati,
29 September 2018
Penyusun
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
HALAMAN
JUDUL................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh,
berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula
dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.Berbagai potensi
kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh
manusia.Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri
(gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan
ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).Naluri ini merupakan
dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.
Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang
‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang
akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga
setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya
saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya
antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam
memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu
ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap
pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat
aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu
Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup
aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan
mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh
seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan
sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan
didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing
pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Khitbah?
2. Bagaimana Landasan Hukum Khitbah dalam al-Qur’an
dan al-Hadist?
3. Bagaimana Karakteristik Khitbah?
4. Sebutkan Macam-macam Khitbah?
5. Apa saja Syarat Sah Khitbah?
6. Apa saja Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh
dipandang?
7. Bagaimana Hukum memandang wanita terpinang ?
8. Kapan waktu melihat wanita terpinang?
9. Bagaimana Hukum
Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang?
10. Hikmah
di syari’atkan Khitbah!
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi tentang apa itu khithbah.
2. Menyebutkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
3. Dapat menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
4. Memberikan penjelasan tentang anggota tubuh terpinang
yang boleh dilihat pada saat meminang, waktu melihat wanita terpinang, empat
mata dengan wanita pinangan serta menjelaskan hukum pandangan wanita terpinang
terhadap laki-laki peminang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Khitbah
Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush
Shalih, di antaranya adalah:
Pinangan
(meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan
pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara,
bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi
perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar)
dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah
menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah
tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan
untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan)
merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai
batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan
yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan
dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa
pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira
dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah
keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh
karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun
Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan
saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal
dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
takdir Allah yang menghendaki lain.
Dan
khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak
apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk
meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang artinya :
"………Tidak
boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……"
(Muttafaq 'alaih).
Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki
muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih
dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal
ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]
Khitbah
adalah permintaan seseorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu
dari keluargannya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup.[2]
Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk
menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’ adapun
pelaksanaannya beragam; adakalanya meminangitu sendiri yang meminta langsung
kepada yang bersangkutan, atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya
untuk meminta orang yang dikehendaki.
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang
melarang dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak
raj’i.
2.2 Landasan Hukum Khitbah dalam al-Qur’an dan
al-Hadist
Hukum menurut Al-Qur’an yang artinya di bawah ini:
”Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Sedangkan menurut
hadist, hukum tentang khitbah adalah:
Mayoritas
ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat
janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga
yang harmonis.Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal
menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu
hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa
bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah
sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju
mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
2.3 Karakteristik Khitbah
Diantara
hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh, syariat, dan perundang-undangan bahwa
tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.
Khitbah tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah. Dalam akad nikah,
memiliki ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan
tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara
syara’.
Karakteristik
khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masiang calon pasangan
hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri
karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi
orang lain. Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan
mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau telah
menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang
berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah)
dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam akad
nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk
menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan
mereka. Diantara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada
kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan
dari manapun.
Jika
seorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia
harus melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan
kerelaan. Demikian yang diterangkan kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa
ada perselisihan. Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh terhadap apa
yang diriwayatkan dari Imam Malik as bahwa perjanjian itu harus dipenuhi dengan
putusan pengadilan menurut sebagian pendapat. Akan tetapi dalam
perjanjian akad nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi, karena penetapan
janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada
kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis
ini.[5]
2.4 Macam-macam Khitbah
Dikharamkan
meminang wanita pada saat iddahnya masih ada (belum berakhir), baik iddah
karena cerai maupun iddah karena ditinggal mati suaminya. Apabila
tergolong thalaq raj’i maka diharamkan meminang karena bisa jadi suami dari
sang istri tersebut akan merujuk kembali. Jika tergolong thalaq ba’in maka di
haramkan mengkhitbah jika iddahnya belum selesai batas akhirnya.
Pendapat
ulama’ tentang meminang pada saat iddah adalah jika seorang perempuan ditinggal
mati suaminya kemudian ada seseorang melamarnya maka dia boleh menerimanya,
dengan ssyarat cara peminanganya dengan kata sindiran (Tashrih). Karena
hubungan suami dan istri itu sudah terputus maka haqnya seorang laki-laki
sebagai suami sudah gugur sebab kematiannya, dan keluarga dari suami tersebut
juga tidak berkewajiban menanggung semua kehidupan dari pada perempuan
tersebut, kecuali adanya hal-hal tertentu. Seperti yang sudah kita ketahui
bahwa tujuan dari pada iddah adalah untuk mengetahui keadaan rahim perempuan, apakah
di dalamnya ada janin atau tidak, juga menjaga perasaan keluarga dari suaminya.
Jadi
bisa kita simpulkan bahwa macam-macam dari iddah itu ada dua yaitu:
- Tashrih
Adalah
ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan
ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Seperti
kalimat berikut ini :
Saya
melamar dirimu untuk ku jadikan istriku
Atau
Bila
masa iddahmu sudah selesai, aku ingin menikahi dirimu.
أَجَلَهُالْكِتَابُيَبْلُغَحَتَّىالنِّكَاحِعُقْدَةَتَعْزِمُواوَلا
Dan janganlah kamu
ber`azam untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.(QS. Al-Baqarah : 235)
Akan
tetapi para ulama’ bersepakat bahwa jika tasrih ini disampaikan kepada wanita
yang masih belum boleh dikhithbah, seperti wanita yang belum usai masa
iddahnya, baik perempuan itu di talaq ba’in, raj’i atau di tinggal mati
suaminya hukumnya adalah haram. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang
artinya :
”Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Namun
Khitbah dengan cara tashrih ini boleh disampaikan bila wanita yang di khitbah
memang seorang wanita yang bebas dari ikatan pernikahan dan hal-hal yang
sejenisnya.
- Ta’ridh
Yang
dimaksud dengan ta’rid (تعريض) adalah penyampaian khitbah yang menggunakan kata sindiran,
sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang
lain di luar khitbah. Hukum mengkhitbah seorang wanita yaitu, jika wanita
tersebut sudah di thalaq ba’in dan ditinggal mati suaminya maka hukum
mengkhitbah dengan cara ta’ridh yaitu mubah (boleh), akan tetapi jika masih
dalam keadaan thalaq raj’i maka hukumnya haram.
Contoh kata sindiran
seperti:
اني أريد التزوج. او: لوددت أن يسرالله لي امرأة صالحة.
“Sesungguhnya
aku ingin nikah, semoga Allah memudahkanku untuk mencari wanita shalihah”.
2.5 Syarat Sah Khitbah
Peminangan yang
diperbolehkan agama adalah:
a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu
tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh,
atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawina
maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam
hadist riwayat imam Al-Bukhari dan imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi
seorang laki-laki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau
meninggalkanya. Hadist yang senada juga diriwayatkan oleh imam ahmad dan imam
muslim.
Keharaman
ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari
pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama’ (hanafiah,
malikiah, dan hanabilah), namun sebagian ulama’ lain memperbolehkan khitbah
tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
2.6 Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh dipandang
1. Mayoritas Fuqoha’ seperti Imam Malik,
Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota
tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak
tangan. Adapun dalil mereka adalah firman Allah SWT:
وَلأ يُبْدِ يْنَ زِيْنَتَهُنَّ أِلأَّ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan
perhiasan (auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinnya. (QS.
An-Nur (24): 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa
yang biasa terlihat darinnya”, dimaksudkan wajah dan kedua telapak
tangan.Mereka juga menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena kondisi
darurat maka hanya sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan,
sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemah lembutantubuh
seseorang.Tidak boleh memandang tubuh selain kedua anggota tubuh tersebut jika
tidak ada darurat yang mendorongnya.[6])
2. Ulama’ Hanbali berpendapat bahwa batas
diperbolehkannya memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja di rumah,
seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan
sebagainya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya
tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka;
Nabi SAW tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa
sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala
yang tampak pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang
wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak
seperti halnya wajah.[7]
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah,
kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang
anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi
tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut
akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat.
Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana
wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika
dalam sholat dan haji.
4. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh
anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi
SAW: “Lihatlah kepadanya.” Disini Rosulullah tidak menkhususkan suatu
bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat
Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi
ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat
diperkirakan sekadarnya.[8]
2.7 Hukum memandang wanita terpinang
Syariat
Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,
bahkan dianjurkan dan disunnahkan.Karena pandangan peminang terhadap terpinang
bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman.
Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah
sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda kepada Al-Mughirah bin
Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “ Apakah anda telah
melihatnya ? “ Ia menjawab: “ Belum.” Beliau bersabda:
اُنْظُرْ أِلَيْهاَ فَأِنَّهُ أَحْرَي أَنْ يُؤْدَمُ
بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia,
sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda
berdua. (maksudnya menjaga kasih saying dan kesesuaian ).
2.8 Kapan waktu melihat wanita terpinang
Mayoritas
ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang
adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat)
menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain
berkenaan dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi,
bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
Langkah
diatas adalah suatu langkah yang baik untuk mencapai maslahat. Jika
dilaksanakan dengan baik, akan mempunyai akibat yang baik pula. Jika
tidak jadi dinikahi karna laki-laki tersebut kurang tertarik, tetap terjaga
kehormatan wanita tersebut, tidak tersakiti, dan terpatahkan semangat. Langkah-langkah
inilah yang tempuh oleh orang-orang terhormat yang mempunyai rasa malu.
2.9 Hukum
Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang
Syariat
Islam memperbolehkan wanita terpinang melihat laki-laki peminang
sebagaimana laki-laki peminang melihatnya, agar semakin jelas kedudukannya sebelum
masuk pada akad nikah. Hakum kebolehannya dianalogikan dengan peminang
yang memiliki alas an (illat) yang sama sebagaimanayang ditegaskan
dalam sabda Rasulullah SAW:
ا
نْظُرْ أِلَيْهَا فَأِنَهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah wanita itu sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan
antara anda berdua.(HR.At-Tirmidzi).
Keberlangsungan
kasih sayang antara suami istri tidak hanya terletak pada seorang laki-laki,
akan tetapi masing-masing pihak adalah unsur dalam kasih sayang. Jika
laki-laki mencari wanita pinangan yang baik, wanita pun akan senang jika
dinikahi seorang laki-laki yang baik pula bagi dirinya.
2.10 Hikmah di syari’atkan Khitbah
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat
wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya
syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat
saling mengenal1. Hal ini dapat disimak dari sepotong
hadits Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah menurut yang dikeluarkan
al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya :
Bahwa Nabi berkata
kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan: “melihatlah kepadanya
karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
Kemudian untuk kebaikan, kesejahtraan, dan kesenangan dalam kehidupan berrumah
tangga sebaiknya laki-laki melihat terlebih dahulu perempuan yang akan
dipinangnya (khitbah) sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan
atau dibatalkan2. Dalam agama islam, melihat perempuan yang
akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan-batasan tertentu,
berdasarkan sabda Nabi SAW :
Dari
mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulallah bertanya
kepadanya:“Sudahkah kau lihat dia?” Ia menjawab:“belum”, sabda Nabi:
“Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih
langgeng”.
2.11 Kafa’ah
Pengertian dari kafa'ah (biasanya diucapkan kufu/sekufu) menurut bahasa
adalah setara dan seimbang, sedangkan menurut syari'at kafa'ah adalah suatu
perkara yang ketiadaannya akan menimbulkan celaan. Sedangkan pakem/dhobid dari
kafa'ah adalah kesetaraan antara seorang suami dengan istrinya dalam
kesempurnaan dan kerendahannya selain dalam hal terbebasnya seseorang dari
aib-aib nikah.
Menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' Kafa'ah atau kesetaraan
derajat antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang akan menikah hukumnya
wajib. Dalil disyari'atkannya kafa'ah dalam pernikahan adalah hadits ;
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
"Pilihlah (tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-orang yang
sepadan, dan nikahkanlah (wanita) dengan orang-orang yang sepadan." (Sunan Ibnu Majah, no.1968,
Mustadrok Lil-hakim, no.2687, Sunan Daruqutni, no.3788 dan Sunan Kubro
Lil-Baihaqi, no.13758)
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang
terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak
sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab
apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya
tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin
keberlangsungan kehidupan rumah tangga.
Namun kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti
akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho,
sebab kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan
walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan
suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan
walinya ridho/setuju.
Pertimbangan kafa'ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak
laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu yang
mempertimbangkan apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau
tidak, sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu
tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki
dan sebagaimana diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shollallohu 'alaihi
wasallam derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan
beliau, hal ini bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi.
Selain itukemuliaan seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya,
jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa
itu bukanlah suatu aib.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :
ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ:
الرَّجُلُ تَكُونُ لَهُ الأَمَةُ، فَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِيمَهَا،
وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ أَدَبَهَا، ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَّجُهَا فَلَهُ
أَجْرَانِ
"Ada tiga macam orang yang akan memperoleh pahala 2 kali ; seorang
laki-laki yang memiliki budak perempuan, kemudian ia mengajarinya dengan baik
dan mendidik akhlaknya dengan baik lalu ia memerdekakannya dan menikahinya,
maka ia mendapat 2 pahala.. (Shohih Bukhori, no.3011 dan Shohih Muslim, no.154)
Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah (hisholul
kafa'ah) itu ada 6; yaitu agama, iffah (menjauhkan diri dari
dosa), nasab,merdeka (bukan budak), pekerjaannya tidak rendahan
dan terbebas dari aib-aib nikah, sebagian ulama' menyatakan ada 5,
dengan menggabungkan iffah dan agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
o
Khitbah
(mempersunting) adalah suatu bentuk (perasaan senang) yang dilahirkan oleh si
khatib (laki-laki yang mempersunting) kepada makhtubah (perempuan yang
dipersunting) untuk menikahinya. Dalam
kitab lain juga dijelaskan mengenai pengertian Khitbah (peminangan), merupakan
langkah pertama yang dilakukan seorang laki-laki sebelum proses akad nikah.
Dalam acara peminangan, pihak laki-laki ingin mengetahui apakah lamarannya
dapat diterima atau tidak boleh keluarga wanita. Untuk melaksanakan proses
peminangan, dapat dilakukan oleh dirinya sendiri atau pun dipercayakan kepada
salah seorang keluarganya atau saudara laki-lakinya. tujuannya tidak lain
untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Juga
agar perkawinannya itu sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang
mendalam dan mendapatkan hidayah. Lebih jauh lagi, dengan itu, suasana
kekeluargaan nantinya akan berjalan erat antara suami, istri, anak-anak dan
anggota keluarga lainnya.
o
Karakteristik
khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masiang calon pasangan
hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri
karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi
orang lain. Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan
mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau telah
menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang
berharga.
o
Macam-macam
khitbah ada dua, yang pertama Tashrih adalah ungkapan yang jelas dan tegas,
dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa
ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Yang kedua, ta’ridh penyampaian
khitbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi
khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khitbah.
o
Peminangan
yang diperbolehkan agama adalah:
a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu
tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh,
atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawina
maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b. Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadist riwayat imam Al-Bukhari dan
imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan
orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkanya.
o
Hukum
memandang wanita terpinang, Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki
memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan.
Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat keberlangsungan
hidup pernikahan dan ketentraman. Diantara dalil yang menunjukkan
bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari
Nabi SAW bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang
wanita untuk dinikahi: “ Apakah anda telah melihatnya ? “ Ia
menjawab: “ Belum.”
o
Kapan
waktu melihat wanita terpinang? Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa waktu yang
diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki
memiliki azam (keinginan kuat) menikah dan ada kemampuan baik
secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan dengan wanita yang dipinang
pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri
orang lain.
o
Hukum
Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang, Syariat Islam
memperbolehkan wanita terpinang melihat laki-laki peminang sebagaimana
laki-laki peminang melihatnya, agar semakin jelas kedudukannya sebelum masuk
pada akad nikah. Hokum kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang
memiliki alas an (illat) yang sama.
o
Hikmah
di syari’atkan Khitbah, Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya
tidak sampai pada tingkat wajib, selalu
mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan
adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu,
karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal
ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah
menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya : Bahwa
Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan:
“melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
o 1.Pengertian dari kafa'ah adalah
kesetaraan antara laki-laki dan wanita untuk mencegah celaan
o 2.Hukum kafaah adalah wajib
o 3.Kafa'ah bukanlah syarat akad
nikah
o
4.Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah ada 6; yaitu agama,
iffah, nasab,merdeka, pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari
aib-aib nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr. Syarifudin, Amir.2007.Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia.Jakarta:kencana prenada
media grup
Dr.As-Subki, Ali
Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga pedoman berkeluarga dalam islam.Jakarta:
Amzah.
Dr. Nashih, Abdullah
‘Ulwan. 2006. Tata Cara Meminang Dalam Islam. Jakarta: Qisthi Press
DR. M. Ahmad, Sayyid
Al-Musayyar. 2008. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah
Tangga, Kairo
Mesir:Erlangga
DR. Qaradawi, Yusuf.
2007.Halal dan Haram. Jakarta:Jabal.
Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Fuad, Syaikh Shalih.
2009. Untukmu yang akan Menikah dan Telah Menikah.Jakarta Timur:
Prof.Dr.Amir
Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia(Jakarta: kencana prenada
media grup,
2007), hlm.50
Prof.Dr. Ghozali,
Abdul Rahman, M.A.2003.Fiqh Munakahat.Jakarta:Kencana Prenada
Media Grup.
Prof.Dr. Muhammad
Azam, Abdul Aziz dan Prof. Dr. Sayyid Hawwas, abdul wahab.2009.
Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Sabiq, Sayyid.
2003. Fiqh Sunnah Juz 2. Kairo:Darul Fath
Sabbiq, Sayyid.
2008. Fiqh Sunnah Terjemahan Jilid 3. Jakarta:Dar Fath Lil
I’lami al-araby.
Nashiruddin, Muhammad
Al-Albani. 2006. Shahih Sunnah Nasa’i jilid 2. Jakarta:
Pustaka
Azzam
[1]Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar