Syarat-syarat Wali Dan Saksi, Macam-macam Wali Dan Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ ( UNISNU) Jepara
Dosen : Hj.Aini Mhmudah, M.S.I
Disusun Oleh :
Muhimmatul Khoiroh ( 17131000
Novia Ningsih ( 171310003855)
Musyfiqotun Niswah (171310003922)
FAKULTAS TARBIYAH ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDHATUL ULAMA’ (UNISNU)
JLN. TAMAN SISWA (PEKENG) TAHUNAN JEPARA
2018 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah Mata kuliah Fiqih Munakaht yang berjudul "Syarat-syarat Wali Dan Saksi, Macam-macam Wali Dan Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini. Maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Hj. Aini Mahmudah, M.S.I. Selaku Dosen Mata Kuliah Fiqih Munakahat yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Jepara, 10 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Table of Contents
COVER MAKALAH I
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar belakang 4
B. Rumusan masalah 6
C. Tujuan penulisan 6
BAB II 7
PEMBAHASAN 7
A. Pengertian Wali 7
B. Syarat-syarat wali 7
C. Saksi Dalam Akad Nikah 8
D. Macam-macam wali dan urutannya 11
E. Pendapat Ulama Tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan 12
BAB III 16
PENUTUP 16
A. Kesimpulan 16
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria.
Pada hakikatnya seorang perempuan harus ditikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antar keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendangan seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya. Berbeda pandangan mungkin hal yang wajar, tapi dampak dari hal itu dapat menggeserkan hak wali dari ayahnya kepada orang lain. Hal tersebut terjadi jikalau ayahnya sampai merasa enggan untuk menikahkan putrinya sehingga oleh hakim diputuskan sebagai wali adhal. Perpindahan hak wali memang ada tingkatannya, tetapi kalau perpindahannya itu disebabkan oleh keengganan wali untuk menikahkan (adhal) maka tingkatan itu menjadi tidak berlaku, dan perpindahan hak untuk menikahkan langsung kepada wali hakim.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Rumusan masalah
Apa Pengertian Wali dalam pernikahan ?
Apa Syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan ?
Apa-apa saja syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan?
Apa saja macam macam wali dalam pernikahan ?
Bagaimana pendapat ulama’ tentang kedudukan wali nikah dan kerharusan adanya saksi dalam pernikahan ?
Tujuan penulisan
Mengetahui pengertian wali dalam pernikahan
Mengetahui syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan.
Mengetahui macam macam wali dalam pernikahan.
Mengetahui pendapat ulama tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan .
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali). Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).
Syarat-syarat wali
Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
Orang merdeka.
Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
Saksi Dalam Akad Nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah.
Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan.Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali.
Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak paman seayah,
Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.
Pendapat Ulama Tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadith yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadith-hadith yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadith riwayat Ibn al-Abbas.
a. Kedudukan wali dalam pernikahan, menurut pendapat ulama sebagai berrikut :
Jumhur ulama, Imam SYafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa; wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya: Firman Allah,
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
Hadits Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash'ari.
عن أبي موسى عن أبيه رضي الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صححه ابن المديني و الترمذي و ابن حبان)
“Dari Abi Musa Al-Ash'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah saw. bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadith ini secara zahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Aishah,
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها و إن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد)
"Dari Aishah ra berkata : Rasulullah saw. bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).
Hadith di atas mengandung beberapa pengertian;
1. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, hukumnya batal.
2. Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya hubungan itu, mewajibkan kepada laki-laki (pelaku) untuk membayar mahar mithil (mahar yang tidak disebutkan bentuk, wujud, atau nilainya secara jelas dalam redaksi akad).
3. Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sultanlah walinya atau wali hakim.
Selain itu mereka berpendapat, perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan. Sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklahdiserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi) berpendapat bahwa, jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain, firman Allah;
و إذا طلّقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواحهن
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…" Menurut mereka, ayat di atas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
Dari Hadith Ibn al-Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأذن في نفسها و إذنها صماتها و في رواية لأبي داود و النسائي ليس للولي مع الثيب أمر و اليتيمة تستأم (رواه البخاري و مسلم)
"Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw. bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An-Nasa'i: "Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)” (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadith ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) yang dipandang mampu bertanggung jawab sendiri mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu, maka cukup dengan diamnya, dan dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Ia menganalogikan dengan wanita yang sudah dewasa, berakal dan cerdas, mereka bebas bertasarruf (kontrak kesepakatan) dalam hal-hal yang berkaitan dengan mu'amalat sebagaimana ketentuan syara', maka dalam hal akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Selanjutnya, walaupun wali bukan syarat sah nikah, dan apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak i'tiradh (mencegah perkawinan).
Daud al-Zahiri berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis, wali menjadi syarat.
Al-Sha'bi dan al-Zuhri, berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' (setara atau sepadan) dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.
Abu Thur, berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
b. Kedudukan Saksi dalam pernikahan
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi, apakah saksi itu merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalamperkawinan. Berarti mengandung maksud bahwa nikah itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya saksi walaupun pemberitahuan tentang adanya, nikah itu dapat dicapai dengan cara yang lain. Akan tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun, sehingga setiap perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Artinya: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hamid Ahmad bin Ali al-Hafidh: Telah memberitakan kepada kami Zahir bin Ahmad: Telah memberitakan Abu Bakr bin Ziyad al-Naisaburi: Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin Ishaq: Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab bin Atha, dari Sa’id, dari Qatadah, dari al-Hasan dan Sa’id bin al-Musayib: Bahwasannya Umar radliyallahu anhu berkata: Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. (H.R al-Baihaqi).
Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Karena dalam suatu perkawinan peristiwa yang sangat penting adalah pada saat akad nikah dilangsungkan, sehingga dua orang saksi harus hadir pada terjadinya akad nikah.
Namun, Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi memang menjadi syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh pada saat akad nikah dan boleh pula kesaksian pada waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur kedua mempelai. Sekiranya kedua mempelai telah bercampur, sedangkan kesaksian belum ada ( belum ada resepsi atau belum diberitahukan kepada orang lain), maka nikahnya fasid dan harus cerai (fasakh).
Jadi, sebelum bercampur mutlak diperlukan saksi dan harus pada saat akad nikah sebab dikuatirkan kedua mempelai akan bercampur sebelum diresmikan pernikahan mereka .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kedudukan wali dalam pernikahan, menurut pendapat ulama sebagai berrikut :
Jumhur ulama, Imam SYafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa; wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya: Firman Allah,
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
Hadits Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash'ari.
عن أبي موسى عن أبيه رضي الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صححه ابن المديني و الترمذي و ابن حبان)
“Dari Abi Musa Al-Ash'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah saw. bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban).
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini kedepannya
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993).
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara 1999.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
http://khalkulbahri.blogspot.com/2013/10/makalah-fiqh-munakahat-wali-dan-saksi.html.