Jumat, 04 Januari 2019

WALI DAN SAKSI NIKAH

MAKALAH
Syarat-syarat Wali Dan Saksi, Macam-macam Wali Dan Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ ( UNISNU) Jepara
Dosen : Hj.Aini Mhmudah, M.S.I







Disusun Oleh :
Muhimmatul Khoiroh ( 17131000
Novia Ningsih ( 171310003855)
Musyfiqotun Niswah (171310003922)
FAKULTAS TARBIYAH ILMU KEGURUAN
  PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDHATUL ULAMA’ (UNISNU)
JLN. TAMAN SISWA (PEKENG) TAHUNAN  JEPARA
2018 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah Mata kuliah Fiqih Munakaht yang berjudul "Syarat-syarat Wali Dan Saksi, Macam-macam Wali Dan Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini. Maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Hj. Aini Mahmudah, M.S.I. Selaku Dosen Mata Kuliah Fiqih Munakahat yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Jepara, 10 Oktober 2018

Penulis

              DAFTAR ISI

Table of Contents
COVER MAKALAH I
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar belakang 4
B. Rumusan masalah 6
C. Tujuan penulisan 6
BAB II 7
PEMBAHASAN 7
A. Pengertian Wali 7
B. Syarat-syarat wali 7
C. Saksi Dalam Akad Nikah 8
D. Macam-macam wali dan urutannya 11
E. Pendapat Ulama Tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan 12
BAB III 16
PENUTUP 16
A.  Kesimpulan 16
B.  Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18


 BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria.
Pada hakikatnya seorang perempuan harus ditikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antar keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendangan seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya. Berbeda pandangan mungkin hal yang wajar, tapi dampak dari hal itu dapat menggeserkan hak wali dari ayahnya kepada orang lain. Hal tersebut terjadi jikalau ayahnya sampai merasa enggan untuk menikahkan putrinya sehingga oleh hakim diputuskan sebagai wali adhal. Perpindahan hak wali memang ada tingkatannya, tetapi kalau perpindahannya itu disebabkan oleh keengganan wali untuk menikahkan (adhal) maka tingkatan itu menjadi tidak berlaku, dan perpindahan hak untuk menikahkan langsung kepada wali hakim.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Rumusan masalah

Apa Pengertian Wali dalam pernikahan ?
Apa Syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan ?
Apa-apa saja syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan?
Apa saja macam macam wali dalam pernikahan ?
Bagaimana pendapat ulama’ tentang kedudukan wali nikah dan kerharusan adanya saksi dalam pernikahan ?

Tujuan penulisan
Mengetahui pengertian wali dalam pernikahan
Mengetahui syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan.
Mengetahui macam macam wali dalam pernikahan.
Mengetahui pendapat ulama tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan .

 BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali). Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).
Syarat-syarat wali
Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
 أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
 Orang merdeka.
Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
Saksi Dalam Akad Nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah.
Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan.Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah.

Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.


Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali.
Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
 Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
Anak paman seayah,
Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.
Pendapat Ulama Tentang kedudukan wali nikah dan keharusan adanya saksi dalam pernikahan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadith yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadith-hadith yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadith riwayat Ibn al-Abbas.
a. Kedudukan  wali dalam pernikahan, menurut pendapat ulama sebagai berrikut :
Jumhur ulama, Imam SYafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa; wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya: Firman Allah,
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
Hadits Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash'ari.
عن أبي موسى عن أبيه رضي الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صححه ابن المديني و الترمذي و ابن حبان)
“Dari Abi Musa Al-Ash'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah saw. bersabda :  "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadith ini secara zahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Aishah,
عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها و إن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد)
"Dari Aishah ra berkata : Rasulullah saw. bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).
Hadith di atas mengandung beberapa pengertian;
1. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, hukumnya batal.
2. Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya hubungan itu, mewajibkan kepada laki-laki (pelaku) untuk membayar mahar mithil (mahar yang tidak disebutkan bentuk, wujud, atau nilainya secara jelas dalam redaksi akad).
3. Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sultanlah walinya atau wali hakim.
Selain itu mereka berpendapat, perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan. Sedangkan wanita  biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak  diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklahdiserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi) berpendapat bahwa, jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain, firman Allah;
و إذا طلّقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواحهن
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…" Menurut mereka, ayat di atas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
Dari Hadith Ibn al-Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأذن في نفسها و إذنها صماتها و في رواية لأبي داود و النسائي ليس للولي مع الثيب أمر و اليتيمة تستأم (رواه البخاري و مسلم)

"Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw. bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An-Nasa'i: "Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)” (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadith ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) yang dipandang mampu bertanggung jawab sendiri mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu, maka cukup dengan diamnya, dan dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Ia menganalogikan dengan wanita yang sudah dewasa, berakal dan cerdas, mereka bebas bertasarruf (kontrak kesepakatan) dalam hal-hal yang berkaitan dengan mu'amalat sebagaimana ketentuan syara', maka dalam hal akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Selanjutnya, walaupun wali bukan syarat sah nikah, dan apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak i'tiradh (mencegah perkawinan).
Daud al-Zahiri berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis, wali menjadi syarat.
 Al-Sha'bi dan al-Zuhri, berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' (setara atau sepadan) dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.
 Abu Thur, berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
b. Kedudukan Saksi dalam pernikahan
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi, apakah saksi itu merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalamperkawinan. Berarti mengandung maksud bahwa nikah itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya saksi walaupun pemberitahuan tentang adanya, nikah itu dapat dicapai dengan cara yang lain. Akan tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun, sehingga setiap perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Artinya: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hamid Ahmad bin Ali al-Hafidh: Telah memberitakan kepada kami Zahir bin Ahmad: Telah memberitakan Abu Bakr bin Ziyad al-Naisaburi: Telah menceritakan kepada kami  Muhamad bin Ishaq: Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab bin Atha, dari Sa’id, dari Qatadah, dari al-Hasan dan Sa’id bin al-Musayib: Bahwasannya Umar radliyallahu anhu berkata: Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. (H.R al-Baihaqi).
Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Karena dalam suatu perkawinan peristiwa yang sangat penting adalah pada saat akad nikah  dilangsungkan, sehingga dua orang saksi harus hadir pada terjadinya akad nikah.
Namun, Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi memang menjadi syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh pada saat akad nikah dan boleh pula kesaksian pada waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur kedua mempelai. Sekiranya kedua mempelai telah bercampur, sedangkan kesaksian belum ada ( belum ada resepsi atau belum diberitahukan kepada orang lain), maka nikahnya fasid dan harus cerai (fasakh).
Jadi, sebelum bercampur mutlak diperlukan saksi dan harus pada saat akad nikah sebab dikuatirkan kedua mempelai akan bercampur sebelum diresmikan pernikahan mereka .                                                                                                                                                      

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kedudukan  wali dalam pernikahan, menurut pendapat ulama sebagai berrikut :
Jumhur ulama, Imam SYafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa; wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya: Firman Allah,
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
Hadits Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash'ari.
عن أبي موسى عن أبيه رضي الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صححه ابن المديني و الترمذي و ابن حبان)
“Dari Abi Musa Al-Ash'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah saw. bersabda :  "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban).
B.  Saran

Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini kedepannya

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993).
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara 1999.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta:     Kencana Prenada Media Group, 2009.
http://khalkulbahri.blogspot.com/2013/10/makalah-fiqh-munakahat-wali-dan-saksi.html.

KAJIAN TENTANG AQAD NIKAH

MAKALAH
(KAJIAN TENTANG AQAD NIKAH)
Dosen pengampu : Hj. AINI MAHMUDAH, M.S.I.


Dosen pengampu : Hj. AINI MAHMUDAH, M.S.I.

Disusun oleh : kelompok 4
1.Abdul Malik : 171310003856
2.M. Faiqul Asror :171310003923
3.Shofi’ula :171310003899

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA – JAWA TENGAH
2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia.
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kewajiban yang tak dapat dilihat denga mata kepala, karena itu harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadaka ikatan bersuami istri. Pelambang  itu diutaraka dengan kata-kata oleh kedua belah pihakk yang mengadakan aqad. Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri disebut ijab, dan penyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya disebut qobul. Dari sini kemudian para ahli fiqh menyatakan bahwa syarat perkawinan (nikah) adalah ijab dan qobul. Lantas, bagaimana ijab qobul yang benar menurut syara? Apa saja rukun dan apa tujuan dari ijab qobul tersebut?

B.     Rumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, terdari dari :
1.      Apa pengertian akad nikah?
2.      Apa saja hal-hal yang menjadi syarat akad nikah?
3.      Apa saja rukun rukun akad pernikahan.
4.      Apa tujuan dari akad nikah?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah yang berjudul AKAD NIKAH sesuai dengan perumusan masalah di atas adalah :
1.      Mengetahui apa pengertian akad nikah.
2.      Mengetahui apa saja hal-hal yang menjadi syarat akad nikah.
3.      Mengetahui bagaimana rukun dan tujuan dari akad nikah.












BAB II
PEMBAHAASAN
A.    Pengertian Akad Nikah
Pengertian akad nikah secara sederhana dapat difahami sebagai system simbolis tetapi bernilai sacral. Proses akad nikah mengisyaratkan sudah dipertemukannya antara sepasang manusia, lelaki serta wanita, pertemuan itu diikat oleh ketentuan allah. Ada standar mekanisme resmi yang sudah digariskan oleh Allah.
Menurut undang undang nomer 1 th. 1974 pengertian pernikahan yaitu ikatan lahir bathin pada seorang pria dengan seorang wanita juga sebagai suami istri, dengan bermaksud membuat keluarga (Rumah tangga) yang bahagia serta abadi berdasarkan pada ketuhanan yang maha Esa. Dengan Simbolisasi itu yaitu ijab serta qobul.
Ijab yaitu pernyataan kehendak, sedangkan qabul yaitu pernyataan ke-2 yang dinyatakan untuk menyebutkan keridhoan serta kesepakatan. Inilah makna akad nikah. Simbolisasi ijab serta qobul mensyaratkan adanya saksi dan wali. Tanpa adanya saksi dan wali, pernikahan tidak sah. Lewat system Simbolisasi tersebut membedakan pada hewan serta manusia.
B.     Syarat Akad Nikah
Adapun syarat akad nikah, diantaranya adalah :
1.      Syarat calon pengantin laki laki dan wanita
a)      Syarat-Syarat Bakal Suami
1)      Islam
2)      Lelaki yang tertentu.
3)      Bukan mahram dengan bakal isteri
4)      Bukan dalam ihram haji atau umrah
5)      Dengan kerelaan sendiri (tidak sah jika dipaksa)
6)      Mengetahui wali yang sah bagi akad nikah tersebut
7)      Mengetahui bahawa perempuan itu boleh dan sah dinikahi
8)      Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa.


1)      Syarat-Syarat Bakal Isteri
1)      Islam
2)      Perempuan yang tertentu
3)      Tidak dalam keadaan idah
4)      Bukan dalam ihram haji atau umrah
5)      Dengan rela hati
6)      Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
7)      Bukan isteri orang atau masih ada suami

2.      Syarat Wali
a)      Syarat akad nikah yang kedua yaitu adanya wali, Adapun syarat wali diantaranya adalah :
1)      Adil
2)      Islam
3)      Baligh
4)      Lelaki
5)      Merdeka
6)      Tidak fasik, kafir atau murtad.
7)      Bukan dalam ihram haji atau umrah
8)      Waras – tidak cacat akal fikiran atau gila
9)      Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan.
10)  Tidak muflis atau ditahan kuasa atas hartanya.
Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya.

3)      Jenis-Jenis Wali
1)      Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan bakal isteri yang hendak dikahwinkan)
2)      Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi wali
3)      Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susunan tersebut jika tiada yang terdekat lagi.
4)      Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu.

4).      Syarat Saksi
Adapun syarat syarat bagi seorang saksi diantaranya adalah :
a)      Islam
b)      Lelaki
c)      Baligh
d)     Berakal
e)      Merdeka
f)       Sekurang-kurangya dua orang
g)      Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
h)      Dapat mendengar, melihat dan bercakap (tidak buta, bisu atau pekak)
i)        Adil (Tidak melakukan dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
j)        Bukan tertentu yang menjadi wali. (Misalnya, bapa saudara lelaki yang tunggal. Katalah hanya ada seorang bapa saudara yang sepatutnya menjadi wali dalam perkahwinan itu tetapi dia mewakilkan kepada orang lain untuk menjadi wali sedangkan dia hanya menjadi saksi, maka perkahwinan itu tidak sah kerana dia dikira orang tertentu yang sepatutnya menjadi wali.
5).      Syarat Ijab Dan Qabul
a)      Syarat Sah Shigat Ijab Qobul
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)      Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2)      Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar.
Para ahli fiqih mensyaratkan ucapan ijab qobul itu dengan lafadz fi’il madhi atau salah satunya dengan fi’il madhi dan yang lain fi’il mustaqbal.
Contoh Pertama :
Pengijab : Zawwajtuka ibnati (Aku kawinkan anak perempuanku dengan kamu).
Penerima : Qobiltu (saya terima ).
Contoh Kedua :
Pengijab : Uzawwijuka ibnati (aku kawinkan sekarang anak perempuanku dengan kamu ).
Penerima : Qobiltu (saya terima ).
Mereka mensyaratkan demikian karena keridhaan dan persetujuan kedua belah pihak yan menjadi rukun pokok aqad nikah dengan demikian bisa diketahui dengan jelas, dan oleh karena ijab dan qobul merupakan lambang dari adanya ridha kedua pihak, haruslah dinyatakan dengan ucapan yang pesti menunjukkan adanya keridhaan, dan secara konkrit dinyatakan dengan tegas ketika aqad nikah itu dilangsungkan.
Bentuk ucapan di dalam ijab qobul dipergunakan oleh agama dengan fi’il madhi, karena dapat menunjukkan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah pihak, dan tidak mungkin mengandung arti lain. Berbeda halnya dengan ucapan yang dinyatakan dengan fi’il hal atau istiqbal ( sekarang atau akan), ia tidak secara tegas dapat menunjukaan adanya keridhaan ketika dinyatakan, andaikata salah seorang dari mereka berkata : Uzawwijuka ibnati (aku kawinkan sekarang anak perempuanku dengan kamu ), lalu penerima menjawab :
Aqbalu (saya terima sekarang).
Ucapan dari kedua belah pihak ini belum tegas menunjukka telah terjadinya aqad nikah denga sah karena masih ada kemungkinannya bahwa yang dimaksudkannya baru merupakan satu perjanjian semata.
Sedangkan perjanjian untuk kawin di masa akan datang, bukanlah berarti sudah terjadi ikatan perkawinan pada saat sekarang.
Andaikata peminang berkata :
Zawwijni ibnataka (kawinkanlah puteri bapak dengan saya ),
Lalu walinya menjawab:
Zawwajtu laka (Ya,  saya kawinkan dia dengan kamu), berarti telah terjadi aqad nikah, karena ucapan tersebut telah menunjukkan adanya pernyataan memberikan kuasa dan aqad nikah sekaligus, padahal aqad nikah sah dilakukan dengan menguasakan kepada salah satu pihak untuk melaksanakannya. Jika peminang mengatakan : Kawinkanlah putri bapak dengan saya, lalu walinya menjawab :saya terima. Dengan demikian berarti pihak kedua mengadakan aqad nikah seseai dengan permintaan pertama.
Para ahli fiqih mensyaratkan hendaknya ucapan yang dipergunakan di dalam ijab qobul brsifat muthlaq tidak diembel-embeli dengan sesuatu syart, misalnya pengijab mengatakan : aku kawinkan puteriku dengan kamu, lalu penerimanya menjawab saya terima. Ijab qobul ini namanya bersifat muthlaq. Ijab qobul yang memenuhi syarat-syartnya hukkumnya sah, yang selanjutnya mempunyai akibat-akbat hukum.
b)      Shigat akad yang dikaitkan dengan persyaratan
Terkadang ucapan ijab qobul itu diembel-embeli dengan suatu syarat, atau dengan menangguhkan pada sesuatu yang akan datang, atau untuk waktu tertentu, atau dikaitkan dengan suatu syarat. Dalam keadaan yang seperti ini maka aqad nikahnya dianggap tidak sah, berikut penjelasan lebih rincinya.
1)      Ijab qobul yang disyaratkan dengan suatu syarat tertentu
Ijab qobul yang disyaratkan dengan suatu syarat tertentu yaitu bahwa pernikahannya dihubung-hubungkan dengan sesuatu syarat lain, umpamanya peminang mengatakan :
“Kalau saya sudah dapat pekerjaan, puteri bapak saya kawin”.
Lalu ayahnya menjawab ;
“Saya terima “.
Maka akad nikah seperti ini tidak sah, sebab pernikahanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang akan terjadi yang boleh jadi tidak terwujud.
Padahal ijab qobul itu berarti telah memberikan kekuasaan untuk menikmatinya sekarang, yang oleh karena itu tidak boleh ada tenggang waktu antara syaratnya, yang di sini dengan contoh mendapat pekerjaan, yang ketikan diucapkan belum ada., sedang menghubungkan kepada sesuatu yang belum ada berarti tidakada.Jadi, berarti pernikahanya pun tidak ada.
Jika akad nikahnya dikaitkan dengan sesuatu yang dapat diwujudkan seketika itu juga, maka akad nikahnya sah, umpamanya peminang mengatakan :
“Jika puteri bapak umurnya sudah 20 tahun, saya kawini dia”, lalu ayahnya menjawab:
“Saya terima”.dan ketika itu mamang anaknya sudah berumur 20 tahun.
Begitu pula jika puterinya mengatakan :
“Kalau ayah setuju, saya mau kawin dengan kamu”
Lalu laki-lakinya menjawab saya terima dan ayahnya yang ada di majlisnya itu mengatakan : “Saya terima”. Sebab embel-embel yang terjadi di sini bersifat formalitas, sedangkan apa yang diucapkan dalam kenyataannya sudah terbukti ketika itu juga.
2)      Ijab qobul yang dikaitkan dengan waktu yang akan datang
Contohnya : Peminang berkata :
“Saya kawini puteri bapak besok atau bulan depan”.
Lalu ayahnya menjawab :
“Saya terima”.
Ijab qobul dengan ucapan seperti ini tidak sah, baik ketika itu maupun kelah setelah tibanya waktu yang ditentukan itu.
Sebab mengaitkan dengan waktu akan datang berarti meniadakan ojab qobul yang memberikan hak (kakuasaan) menikmati sekeriak itu dari pasangan yang mengadakan akad nikah.
3)      Akad nikah untuk sementara waktu
Jika akad nikah dinyatakan untuk sebulan atau lebih atau kurang, maka pernikahannya tidak sah, sebab kawin itu dimaksudkan untuk bergaul secara langgeng guna mendapatkan anak, memelihara keturunan dan mendidik mereka. Karena itu para ahli menyatakan bahwa kawin mut’ah dan kawin cina buta tidak sah. Karena yang pertama bermaksud bersenang-senang sementara saja, sedang yang kedua bermaksud menghalalkan bekas suami perempuan tadi dapat kembali kawin dengannya.
C.    Rukun Rukun Akad Nikah
Adapun rukun dalam akad nikah yaitu :
1.      Adanya Pengantin lelaki (Calon Suami) dan Pengantin perempuan (Calon Isteri) yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’I untuk menikah, diantara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau penyusuan. Atau si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya adalah apabila si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya adalah seorang muslimah.
2.      Wali
3.      Saksi
4.      Ijab dan Qabul (akad nikah)
5.      Ridhonya pihak mempelai pria dan ridhonya pihak mempelai wanita.

D.    Tujuan Akad Nikah
a)      Menggapai Ridho Allah
b)      Bukti taat kepada Allah, untuk mensyahkan sebuah pernikahan, karena zina merupakan dosa besar.
c)      Untuk mewujudkan hasrat cinta biologis psikologis yang dihalalkan dan diberkahi Allah.
d)     Membuka pintu gerbang untuk membangun keluarga yang sakiinah mawaddah wa rahmah.
e)      Menjaga iffah kehormatan diri sebagai manusia beriman.
f)       Selamat dari berbagai penyakit dan fitnah social.
g)      Memperbanyak umat rasul.
h)      Mempersiapkan keturunan sebagai regenerasi dakwah.

E. Macam – Macam Akad Nikah

        Akad Nikah sah murni
Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.
       
Akad Nikah yang bergantung
Akad Nikah yang shahih yang terhenti pada izin orang yang mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah pandai (mumayyiz) terhenti pada izin walinya, terhenti akad fudhuli (dilakukan orang lain bukan wakil dan bukan pengganti) atas izin orang yang diakadi, yakni suami/istri.
         Akad Nikah yang rusak (Akad Nikah Fasid)
Nikah fasid ialah akad perkawinan yang tidak memenuhi rukun atau rusak salah satu syarat pada rukunnya, baik karena salah satu sayaratnya tidak ada, atau adanya perubahan yang merusakan syarat tersebut.
Akad nikah Fasid bukan rusak dari segi asasnya, tapi rusak dari segi salah satu sifat yang dituntut Syara’ agar direalisasikan. At-Tirmidzi meriwayatkan; “Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda; Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya sia-sia, nikahnya sia-sia, dan nikahnya sia-sia. Jika dia (mempelai lelaki) mensetubuhinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar karena lelaki itu menganggap halal kemaluannya" (H.R.At-Tirmidzi)
         Akad Nikah Tidak Syah ( Nikah Batil)
Akad Nikah Bathil adalah jika tidak memenuhi rukun nikah seperti menikah tanpa Ijab atau tanpa Qobul atau tanpa Ijab dan Qobul, Akad nikah Bathil telah rusak dari segi asasnya.

Wanita-wanita Yang Diharamkan Untuk Dinikahi
Wanita yang tidak boleh dinikahi ada 14, yaitu :
1.      7 orang karena hubungan nasab.
2.      2 orang karena hubungan susuan.
3.      4 orang karena hubungan mushaharrah (besanan).
4.      1 orang karena hubungan dengan istri.
Orang – orang yang terlarang untuk dinikahi karena ada hubungan dengan nasab ada 7, yaitu :
1.      Ibu (dan urutan-urutan keatasnya)
2.      Anak (dan urutan kebawahnya)
3.      Saudara perempuan
4.      Bibi (saudara perempuan ayah)
5.      Bibi (saudara perempuan ibu)
6.      Keponakan dari saudara perempuan
7.      Keponakan dari saudara laki-laki


F. NIKAH MUT’AH A. Pengertian Nikah Mut’ah Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169). (Nikah Mut’ah, Zina Berkedok. arsipmoslem.wordpress.com) Nikah mut’ah disebut juga zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj munqaihl (kawin kontrak), yaitu seorang laki-laki menyelenggarakan akad nikah dengan seorang perempuan untuk jangka waktu sehari, atau sepekan, atau sebulan batasan-batasan waktu lainnya yang telah diketahui. (Macam-Macam Nikah Yang Bathil. www.nu.or.id) B. Hukum Nikah Mut’ah Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya: Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404). Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117). Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314. (Nikah Mut’ah, Zina Berkedok. arsipmoslem.wordpress.com) Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi). Dan ini adalah perkawinan yang sudah disepakati akan keharamannya dan jika seorang mengadakan akad nikah semacam ini berarti ia terjerumus pada perbuatan yang bathil (lihat Fiqhus Sunnah II:35).  Dari Sabrah ra, ia berkata, ”Kami pernah diperintah oleh Rasulullah saw melakukan kawin mut’ah pada tahun penaklukkan ketika kami masuk mekkah kemudian kami tidak keluar (meninggal Mekkah) sehingga, kami dilarang kembali dari kawin mut’ah.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:812 dan Muslim II:1023 no:1406).  Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan dasar surat An-Nisa’ ayat 24: … فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡہُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً۬‌ۚ ….(٢٤( “Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).” Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak waktu. Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal). Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar’iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani ‘alat Tuhfah juz Vll hlm. 224. Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71) Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar’iyyah II/7) Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.” Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut’ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi. (Beberapa Perkawinan Yang Bathil: www.ayongaji.com)











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan :
1.      Akad adalah merupakan syarat sah sebuah penikahan
2.      Sayarat terpenting dalam subuah akad  adalah adanya kedua belah pihak yang tentunya memenuh kriteria serta mngucapkan ijab kabul sebagai mana yang elah ditantukan.

B.     Saran
Pernikahan ternyata tidak semudah yang dipikirkan, namun apabila dipelajari banyak sekali hikmah yang bisa di dapat. Oleh karena itu, bagi para mahasiswa belajar lebih mendalam lagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, agar kita semua bisa melaksanakan sunnah rosul ini dengan baik dan sah baik menurut syara, juga resmi menurut Negara.

Kamis, 03 Januari 2019

KONSEP KHITBAH DAN KAFA’AH

MAKALAH

Judul
KONSEP KHITBAH DAN KAFA’AH
Mata Kuliah : Fikih Munakahat
Dosen Pengampu : Hj. Aini Mahmudah, M.S.I

Disusun Oleh
Kelompok 2
1.        Sukarlin               
2.        Syaifur Rohman           
3.        Dian Kurniawan          
4.        Risma Hakim      


FALKUTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(UNISNU)
JEPARA
2018









KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat  menyelesaikan makalah bertema ” Konsep Khitbah Dan Kafa’ah” sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Fikih Munakahat.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan begitu banyak bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada siapa saja yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.

                                                                                           Pati, 29 September 2018

Penyusun















DAFTAR  ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
HALAMAN JUDUL................................................................................................................ii



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia.Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan  sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

B.     Rumusan Masalah

1.   Apa Definisi Khitbah?
2.   Bagaimana Landasan Hukum Khitbah dalam al-Qur’an dan al-Hadist?
3.   Bagaimana Karakteristik Khitbah?
4.   Sebutkan Macam-macam Khitbah?
5.   Apa saja Syarat Sah Khitbah?
6.   Apa saja Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh dipandang?
7.   Bagaimana Hukum memandang wanita terpinang ?
8.   Kapan waktu melihat wanita terpinang?
 9.    Bagaimana Hukum Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang?
10.   Hikmah di syari’atkan Khitbah!

C.    Tujuan

1.    Untuk mengetahui definisi tentang apa itu khithbah.
2.    Menyebutkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
3.    Dapat menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
4.     Memberikan penjelasan tentang anggota tubuh terpinang yang boleh dilihat pada saat meminang, waktu melihat wanita terpinang, empat mata dengan wanita pinangan serta menjelaskan hukum pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang.










 

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Definisi Khitbah

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana.  Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.  Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang artinya :
"………Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih).

Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]
Khitbah adalah permintaan seseorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluargannya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup.[2]  Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’  adapun pelaksanaannya beragam; adakalanya meminangitu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Tida[3]k dalam pinangan orang lain.
b.      Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c.       Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d.      Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirri.[4]

2.2 Landasan Hukum Khitbah dalam al-Qur’an dan al-Hadist

            Hukum menurut Al-Qur’an yang artinya di bawah ini:
”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Sedangkan menurut hadist, hukum tentang khitbah adalah:
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis.Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
  

2.3 Karakteristik Khitbah

Diantara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh, syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.  Khitbah tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah. Dalam akad nikah, memiliki ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara syara’.
Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah.  Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain.  Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang berharga.  Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat.  Maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka.  Diantara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
Jika seorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan kerelaan.  Demikian yang diterangkan kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa ada perselisihan.  Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh terhadap apa yang diriwayatkan dari Imam Malik as bahwa perjanjian itu harus dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat.  Akan tetapi dalam perjanjian akad nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini.[5]

2.4 Macam-macam Khitbah

Dikharamkan meminang wanita pada saat iddahnya masih ada (belum berakhir), baik iddah karena cerai maupun iddah karena ditinggal mati suaminya. Apabila tergolong thalaq raj’i maka diharamkan meminang karena bisa jadi suami dari sang istri tersebut akan merujuk kembali. Jika tergolong thalaq ba’in maka di haramkan mengkhitbah jika iddahnya belum selesai batas akhirnya.
Pendapat ulama’ tentang meminang pada saat iddah adalah jika seorang perempuan ditinggal mati suaminya kemudian ada seseorang melamarnya maka dia boleh menerimanya, dengan ssyarat cara peminanganya dengan kata sindiran (Tashrih). Karena hubungan suami dan istri itu sudah terputus maka haqnya seorang laki-laki sebagai suami sudah gugur sebab kematiannya, dan keluarga dari suami tersebut juga tidak berkewajiban menanggung semua kehidupan dari pada perempuan tersebut, kecuali adanya hal-hal tertentu. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa tujuan dari pada iddah adalah untuk mengetahui keadaan rahim perempuan, apakah di dalamnya ada janin atau tidak, juga menjaga perasaan keluarga dari suaminya.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa macam-macam dari iddah itu ada dua yaitu:
-          Tashrih
Adalah ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Seperti kalimat berikut ini :
Saya melamar dirimu untuk ku jadikan istriku
Atau
Bila masa iddahmu sudah selesai, aku ingin menikahi dirimu.

أَجَلَهُالْكِتَابُيَبْلُغَحَتَّىالنِّكَاحِعُقْدَةَتَعْزِمُواوَلا
Dan janganlah kamu ber`azam untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.(QS. Al-Baqarah : 235)
Akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa jika tasrih ini disampaikan kepada wanita yang masih belum boleh dikhithbah, seperti wanita yang belum usai masa iddahnya, baik perempuan itu di talaq ba’in, raj’i atau di tinggal mati suaminya hukumnya adalah haram. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang artinya :

”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Namun Khitbah dengan cara tashrih ini boleh disampaikan bila wanita yang di khitbah memang seorang wanita yang bebas dari ikatan pernikahan dan hal-hal yang sejenisnya.
-          Ta’ridh
Yang dimaksud dengan ta’rid (تعريض) adalah penyampaian khitbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khitbah. Hukum mengkhitbah seorang wanita yaitu, jika wanita tersebut sudah di thalaq ba’in dan ditinggal mati suaminya maka hukum mengkhitbah dengan cara ta’ridh yaitu mubah (boleh), akan tetapi jika masih dalam keadaan thalaq raj’i maka hukumnya haram.
Contoh kata sindiran seperti:
اني أريد التزوج. او: لوددت أن يسرالله لي امرأة صالحة.
“Sesungguhnya aku ingin nikah, semoga Allah memudahkanku untuk mencari wanita shalihah”.

2.5 Syarat Sah Khitbah

Peminangan yang diperbolehkan agama adalah:
a.      Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawina maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b.      Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadist riwayat imam Al-Bukhari dan imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkanya. Hadist yang senada juga diriwayatkan oleh imam ahmad dan imam muslim.
Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama’ (hanafiah, malikiah, dan hanabilah), namun sebagian ulama’ lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.

2.6 Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh dipandang

1.      Mayoritas Fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya  mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan.  Adapun dalil mereka adalah firman Allah SWT:
وَلأ يُبْدِ يْنَ زِيْنَتَهُنَّ أِلأَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinnya. (QS.  An-Nur (24): 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinnya”, dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan.Mereka juga menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemah lembutantubuh seseorang.Tidak boleh memandang tubuh selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.[6])
2.      Ulama’ Hanbali berpendapat bahwa batas diperbolehkannya memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sebagainya.  Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya.  Adapun alasan mereka; Nabi SAW tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.  Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.  Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.[7]
3.      Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu.  Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.  Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat.  Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.
4.      Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Lihatlah kepadanya.”  Disini Rosulullah tidak menkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.[8]

2.7 Hukum memandang wanita terpinang

Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan.Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman.  Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “ Apakah anda telah melihatnya  ? “ Ia menjawab: “ Belum.” Beliau bersabda:

اُنْظُرْ أِلَيْهاَ فَأِنَّهُ أَحْرَي أَنْ يُؤْدَمُ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua.  (maksudnya menjaga kasih saying dan kesesuaian ).

2.8 Kapan waktu melihat wanita terpinang

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil.  Syarat lain berkenaan dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
Langkah diatas adalah suatu langkah yang baik untuk mencapai maslahat.  Jika dilaksanakan dengan baik, akan mempunyai akibat yang baik pula.  Jika tidak jadi dinikahi karna laki-laki tersebut kurang tertarik, tetap terjaga kehormatan wanita tersebut, tidak tersakiti, dan terpatahkan semangat. Langkah-langkah inilah yang tempuh oleh orang-orang terhormat yang mempunyai rasa malu.

2.9  Hukum Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang

Syariat Islam memperbolehkan  wanita terpinang melihat laki-laki peminang sebagaimana laki-laki peminang melihatnya, agar semakin jelas kedudukannya sebelum masuk pada akad nikah.  Hakum kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang memiliki alas an (illat) yang sama sebagaimanayang ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
ا نْظُرْ أِلَيْهَا فَأِنَهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
            Lihatlah wanita itu sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua.(HR.At-Tirmidzi).
Keberlangsungan kasih sayang antara suami istri tidak hanya terletak pada seorang laki-laki, akan tetapi masing-masing pihak adalah unsur dalam kasih sayang.  Jika laki-laki mencari wanita pinangan yang baik, wanita pun akan senang jika dinikahi seorang laki-laki yang baik pula bagi dirinya.

2.10 Hikmah di syari’atkan Khitbah

            Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah.  Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal1.  Hal ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya :
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
                        Kemudian untuk kebaikan, kesejahtraan, dan kesenangan dalam kehidupan berrumah tangga sebaiknya laki-laki melihat terlebih dahulu perempuan yang akan dipinangnya (khitbah) sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan2.  Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan-batasan tertentu, berdasarkan sabda Nabi SAW :
Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulallah bertanya kepadanya:“Sudahkah kau  lihat dia?” Ia menjawab:“belum”, sabda Nabi: “Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”.

2.11 Kafa’ah


Pengertian dari kafa'ah (biasanya diucapkan kufu/sekufu) menurut bahasa adalah setara dan seimbang, sedangkan menurut syari'at kafa'ah adalah suatu perkara yang ketiadaannya akan menimbulkan celaan. Sedangkan pakem/dhobid dari kafa'ah adalah kesetaraan antara seorang suami dengan istrinya dalam kesempurnaan dan kerendahannya selain dalam hal terbebasnya seseorang dari aib-aib nikah.
Menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' Kafa'ah atau kesetaraan derajat antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang akan menikah hukumnya wajib. Dalil disyari'atkannya kafa'ah dalam pernikahan adalah hadits ;
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ 
"Pilihlah (tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan, dan nikahkanlah (wanita) dengan orang-orang yang sepadan." (Sunan Ibnu Majah, no.1968, Mustadrok Lil-hakim, no.2687, Sunan Daruqutni, no.3788 dan Sunan Kubro Lil-Baihaqi, no.13758)
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.
Namun kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho, sebab  kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan walinya ridho/setuju.
Pertimbangan kafa'ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu yang mempertimbangkan  apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak, sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki dan sebagaimana diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shollallohu 'alaihi wasallam derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan beliau, hal ini bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi. Selain itukemuliaan seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu aib.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :
 ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: الرَّجُلُ تَكُونُ لَهُ الأَمَةُ، فَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِيمَهَا، وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ أَدَبَهَا، ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَّجُهَا فَلَهُ أَجْرَانِ
"Ada tiga macam orang yang akan memperoleh pahala 2 kali ; seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, kemudian ia mengajarinya dengan baik dan mendidik akhlaknya dengan baik lalu ia memerdekakannya dan menikahinya, maka ia mendapat 2 pahala.. (Shohih Bukhori, no.3011 dan Shohih Muslim, no.154)

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah (hisholul kafa'ah) itu ada 6; yaitu agama, iffah (menjauhkan diri dari dosa), nasab,merdeka (bukan budak),  pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah, sebagian ulama' menyatakan ada 5, dengan menggabungkan  iffah dan agama.


















BAB III

PENUTUP


3.1  Kesimpulan

o    Khitbah (mempersunting) adalah suatu bentuk (perasaan senang) yang dilahirkan oleh si khatib (laki-laki yang mempersunting) kepada makhtubah (perempuan yang dipersunting) untuk menikahinya.  Dalam kitab lain juga dijelaskan mengenai pengertian Khitbah (peminangan), merupakan langkah pertama yang dilakukan seorang laki-laki sebelum proses akad nikah. Dalam acara peminangan, pihak laki-laki ingin mengetahui apakah lamarannya dapat diterima atau tidak boleh keluarga wanita. Untuk melaksanakan proses peminangan, dapat dilakukan oleh dirinya sendiri atau pun dipercayakan kepada salah seorang keluarganya atau saudara laki-lakinya.  tujuannya tidak lain untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Juga agar perkawinannya itu sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang mendalam dan mendapatkan  hidayah. Lebih jauh lagi, dengan itu, suasana kekeluargaan nantinya akan berjalan erat antara suami, istri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
o    Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah.  Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain.  Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang berharga.
o    Macam-macam khitbah ada dua, yang pertama Tashrih adalah ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Yang kedua, ta’ridh penyampaian khitbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khitbah.
o    Peminangan yang diperbolehkan agama adalah:
a.    Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawina maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b.    Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadist riwayat imam Al-Bukhari dan imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkanya.
o    Hukum memandang wanita terpinang, Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan.  Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman.  Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “ Apakah anda telah melihatnya  ? “ Ia menjawab: “ Belum.”
o    Kapan waktu melihat wanita terpinang? Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
o    Hukum Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang, Syariat Islam memperbolehkan  wanita terpinang melihat laki-laki peminang sebagaimana laki-laki peminang melihatnya, agar semakin jelas kedudukannya sebelum masuk pada akad nikah.  Hokum kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang memiliki alas an (illat) yang sama.
o    Hikmah di syari’atkan Khitbah, Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak  sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah.  Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.  Hal ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya : Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
o  1.Pengertian dari kafa'ah adalah kesetaraan antara laki-laki dan wanita untuk mencegah celaan
o  2.Hukum kafaah adalah wajib
o  3.Kafa'ah bukanlah syarat akad nikah
o   4.Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah ada 6; yaitu agama, iffah, nasab,merdeka,  pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah.





















DAFTAR PUSTAKA


Prof.Dr. Syarifudin, Amir.2007.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Jakarta:kencana prenada
media grup
Dr.As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga pedoman berkeluarga dalam islam.Jakarta:
                     Amzah.
Dr. Nashih, Abdullah ‘Ulwan. 2006. Tata Cara Meminang Dalam Islam. Jakarta: Qisthi Press
DR. M. Ahmad, Sayyid Al-Musayyar. 2008. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah
Tangga, Kairo Mesir:Erlangga
DR. Qaradawi, Yusuf. 2007.Halal dan Haram. Jakarta:Jabal.
Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Fuad, Syaikh Shalih. 2009. Untukmu yang akan Menikah dan Telah Menikah.Jakarta Timur:
Prof.Dr.Amir Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia(Jakarta: kencana prenada
media grup, 2007),  hlm.50
Prof.Dr. Ghozali, Abdul Rahman, M.A.2003.Fiqh Munakahat.Jakarta:Kencana Prenada
Media Grup.
Prof.Dr. Muhammad Azam, Abdul Aziz dan Prof. Dr. Sayyid Hawwas, abdul wahab.2009.
Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Sabiq, Sayyid. 2003. Fiqh Sunnah Juz 2. Kairo:Darul Fath
Sabbiq, Sayyid. 2008. Fiqh Sunnah Terjemahan Jilid  3. Jakarta:Dar Fath Lil I’lami al-araby.
Nashiruddin, Muhammad Al-Albani. 2006. Shahih Sunnah Nasa’i jilid 2. Jakarta: Pustaka
Azzam

[1]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, hlm.  8.

[3]Slamet Iskandar, Drs., Op-cit, hlm. 45.
[4] Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syakhshiyah, hlm. 31-32.
[5] Bidayat Al-Mujtahid, juz 2, hlm.  3.
[6]Al-Mughni, juz 6, hlm.  554.
[7] Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm.  103.
[8] DRS.H. Imron Abu Amar.Fat-hul Qarib Jilid 2. (Kudus: Menara Kudus)1983.hal;32.




[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat 
     Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, hlm. 8.

[4] Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syakhshiyah, hlm. 31-32
[5] Bidayat Al-Mujtahid, juz 2, hlm.  3.
[6] Al-Mughni, juz 6, hlm.  554.
[7] Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm.  103.
[8] DRS.H. Imron Abu Amar.Fat-hul Qarib Jilid 2. (Kudus: Menara Kudus)1983.hal;32.

WALI DAN SAKSI NIKAH

MAKALAH Syarat-syarat Wali Dan Saksi, Macam-macam Wali Dan Pendapat Ulama Tentang Kedudukan Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan Disusun guna ...